Rabu, 17 Desember 2008

CONTOH UTILITARIAN BAB II

KFC merupakan perusahaan yang memproduksi makanan,terutama ayam yang telah di beri berbagai bumbu sehingga memiliki khas tersendiri,perusahaan KFC saat ini telah berkembang di banyak Negara dengan keuntungan yang sangat besar,namun keuntungan yang diperoleh akan meningkatkan pajak terhadap perusahaan tersebut,maka di sinilah metode Utilitarian digunakan oleh perusahaan tersebut,dimana pajak dibeban kan kepada konsumen,dengan begitu perusahaan tidak terlalu berat dalam membayar pajak.

BAB III SISTEM BISNIS

Perekonomian Amerika selama dekade-dekade terakhir abad ke-20 mengalami sejumlah guncangan berat,sebagian karena menurunnya kemampuan bersaing dengan Negara-negara lain dalam pasar-pasar penting. Dampak yang terjadi termasuk penurunan produktivitas (misalnya dalam industry tekstil,mobil dan baja), angka pengangguran yang tinggi, kenaikan persaingan internasional (khususnya dari jepang), deficit perdagangan , resesi ekonomi (awal tahun 1980-an dan awal tahun 1990-an), dan tingkat kemiskinan yang masih tinggi. Saat pergantian abad,Negara-negara asing menjadi semakin dominan dalam beberapa segmen industry teknologi tinggi dan informasi yang sebelumnya dipelopori Amerika. Tantangan – tantangan terhadap perekonomian internasional Amerika memunculkan perdebatan nasional tentang kebutuhan akan “kebijakan industri baru” yang mampu memperkuat industri domestik agar dapat bersaing dengan baik di luar negeri.
Kontroversi seputar “kebijakan industry” hanyalah salah satu dari episode besar perdebatan system bisnis Amerika yang telah berlangsung selama berabad-abad : apakah pemerintah perlu mengatur dan mengoordinasi aktivita s- aktivitas usaha bisnis, atau apakah usaha bisnis bebas mengusahakan kepentingan mereka sendiri dalam pasar yang tidak teregulasi? Apakah system bisnis seharusnya menjadi system ekonomi “terencana”, atau ekonomi” pasar bebas?argumen-argumen yang diajukan Marshall dan Anderson merupakan dua pandangan yang berbeda. Yang satu mengatakan bahwa system pasar yang tak teregulasi adalah detektif karena tidak mampu menangani masalah-masalah resesi, inflasi, perdagangan dan persaingan yang bebas dan terbuka, masalah lingkungan, kesamaan kesempatan, kemiskinan, kebutuhan untuk melakukan penelitian dan inovasi jangka panjang, dan menjamin keamanan nasional. Yang satunya lagi mengatakan bahwa pasar teregulasi adalah detektif karena melanggar hak atas kebebasan dan mendorong alokasi sumber daya yang tidak efisien.
IDEOLOGI
Menganalisis argument-argumen pasar bebas dan pemerintah berarti kita menganalisis apa yang disebut oleh para sosiologi sebagai ideology. Ideology adalah sebuah system keyakinan normative yang dimiliki para anggota kelompok social tertentu. Ideology mengekspresikan tanggapan kelompok tersebut pada pertanyaan tentang sifat manusia, tujuan dasar institusi social, bagaimana masyarakat menjalankan fungsinya dan nilai-nilai yang harus dilindungi masyarakat, jadi. Ideology bisnis adalah system keyakinan oleh kelompok-kelompok bisnis tertentu, misalnya para manajer.
Arti penting analisis ideology bisnis ini cukup jelas, ideology bisnis seseorang kerap kali menentukan keputusan bisnis yang dibuatnya; melalui keputusan ini, ideology memengaruhi perilakunya.
SISTEM PASAR DAN SISTEM PERINTAH
Pasar bertujuan menyelesaikan masalah-masalah ekonomi dasar apa yang dihadapi semua masyarakat : mengoordinasi berbagai aktivitas ekonomi dari para anggota masyarakat. Siapa yang akan memproduksi barang apa untuk siapa? Masyarakat modern menyelesaikan masalah ini dengan dua cara: menggunakan system perintah atau system pasar.
Dalam system perintah, satu otoritas membuat keputusan tentang apa yang akan di produksi, dan siapa yang akan mendapatkannya, sedangkan system pasar ,di dalam system pasar, semua perusahaan – yang masing-masing dimiliki oleh individu yang berbeda dan mencari keuntungan dengan cara yang berbeda – membuat keputusan atas apa yang akan mereka produksi dan bagaimana memproduksinya.
PASAR BEBAS DAN HAK JOHN LOCKE
Salah satu pernyataan yang mendukung system pasar tak teregulasi adalah manusia memiliki “hak-hak alami” tertentu yang hanya dapat dipertahankan melalui system pasar bebas. Dua hak alami yang dilindungi system pasar bebas adalah hak atas kebebasan dan hak atas property pribadi. Pasar bebas di anggap mampu melindungi hak atas kebebasan sejauh memungkinkan masing-masing individu untuk mempertukarkan barang-barang mereka secara sukarela dan bebas dari paksaan pemerintah. Pasar bebas dianggap mampu melindungi hak atas property pribadi sejauh masing-masing individu bebas memutuskan apa yang akan dilakukan dengan apa yang dimilikinya tanpa intervensi pemerintah.
KRITIK ATAS HAK LOCKE
Para kritikus atas pandangan locke tentang pasar bebas memfokuskan argument mereka pada empat kelemahan utama pandangan Locke : (a) asumsi bahwa individu memiliki “hak alami”, (b) konflik antara hak negative dan hak positif, (c) konflik antara hak menurut Locke dengan prinsip-prinsip keadilan, dan (d) asumsi individualistic yang dibuat Locke serta konfliknya dengan kewajiban untuk memberikan perhatian.
UTILITAS PASAR BEBAS : ADAM SMITH
Pendukung kedua system pasar tak teregulasi adalah argumen utilitarian yang menyatakan bahwa pasar tak teregulasi dan property pribadi akan menghasilkan keuntungan yang lebih besar dari peraturan apapun yang berdiberlakukan. Dalam system pasar bebas dan property pribadi, para pembeli berusaha mencari apa yang meraka inginkan dengan harga paling murah. Jadi, system ini akan membayar bisnis swasta untuk memproduksi dan menjual apa yang diinginkan konsumen dan dengan harga serendah mungkin.
KRITIK TERHADAP ADAM SMITH
Para kritikus argument utilitarian Adam Smith tentang pasar bebas dan property pribadi menyatakan pendapat mereka dalam berbagai cara. Kritik paling umum adalh argument utilitarian tersebut didasarkan pada asumsi-asumsi yang tidak realistis.
UTILITAS SURVIVAL OF THE FITTEST : DARWINISME SOSIAL
Para pendukung Darwin abad ke-19 menambahkan warna baru bagi justifikasi utilitarian atas pasar bebas dengan menyatakan bahwa pasar bebas memberikan akibat-akibatmenguntungkan lebih dari yang ditunjukka oleh Adam Smith. Mereka menyatakan bahwa persaingan menciptakan perkembangan manusia. Factor-faktor lingkungan yang menciptakan survival of the fittest ini adalah tekanan kompetitif dalam dunia binatang.
KRITIK MARX
Karl Marx (1818-1883) tidak diragukan lagi merupakan kritikus paling keras dan paling berpengaruh terhadap kesenjangan yang diperkirakan, terbentuk dari system property pribadi dan pasar bebas. Menurut Marx, system kapitalis hanya memberikan dua sumber penghasilan : menjual hasil kerja dan kepemilikan atas sarana-sarana produksi, karena para pekerja tidak mampu menjual tenaga mereka pada pemilik saran produksi dan memperoleh upah.
PENGASINGAN
Kondisi kehidupan yang diciptakan kapitalisme pada kaum pekerja oleh Marx di perbandingkan dengan pandangannya tentang bagaimana seharusnya manusia hidup. Marx menyatakan bahwa manusia harus mampu mewujudkan sifat mereka dengan mengembangkan potensi ekspresi diri secara bebas dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka.
FUNGSI PEMERINTAH
Fungsi pemerintah sesungguhnya seperti dalam sejarah,menurut Marx adalah melindungi kepentingan-kepentingan kelas penguasa. Mungkin orang-orang memiliki keyakinan bahwa pemerintah ada untuk melindungi kebebasan dan keadilan dan menjalankan kekuasaan menurut perjanjian, namun kenyataannya, keyakinan semacam ini hanyalah mitos ideologis yang menyembunyikan realita kekuasaan kaum kaya yang mengendalikan proses politik.
KESIMPULAN : EKONOMI CAMPURAN
Perdebatan antara pihak-pihak yang menentang dan mendukung pasar bebas, intervensi pemerintah, dan kepemilikan pribadi masih terus berlangsung, pada kenyataannya, perdebatan tersebut juga dipicu oleh peristiwa-peristiwa yang terjadi di dunia, khususnya runtuhnya sejumlah pemerintahan komunis seperti bekas Negara Uni Soviet dan munculnya pihak menyatakan bahwa pesaing tangguh dari Negara-negara Asia seperti Jepang.
Pada dasarnya, ekonomi campuran mempertahankan system pasar dan kepemilikan pribadi namun sekaligus bergantung pada kebijakan pemerintah untuk mengatasi kekurangan-kekurangannya.

Rabu, 03 Desember 2008

ETIKA BISNIS

ETIKA BISNIS BAB I
Etika merupakan ilmu yang mendalami standar moral perorangan dan standar moral masyarakat dengan pernyataan baik atau buruk.namun istilah etika menurut kamus memiliki beragam makna yang berbeda,missal nya etika adalah “kajian moralitas”,meskipun etika berkaitan dengan moralitas,namun tidak sama persis dengan moralitas,etika adalah semacam penelaah—baik aktivitas penelaahan maupun hasil-hasil penelaahan itu sendiri—sedangkan moralitas subjek.
Lalu apa moralitas itu? Moralitas yaitu pedoman yang dimilki individu atau kelompok mengenai apa itu benar dan salah,atau baik dan jahat,untuk memperjelas apa maksud dari definisi tersebut,kita dapat melihat kasus konkret,yaitu kasus B.F Goodrik,pemanufaktur komponen kendaraan pesawat terbang, memenangkan kontrak militer untuk mendesain, menguji dan memproduksi rem pesawat A7D,Kermit Vandivier seorang karyawan Goodrik, mendapatkan tugas untuk bekerja sama dengan para insinyur Goodrik untuk membuat laporan tentang tes rem tersebut,namun sayang,ketika rem kecil di uji linings pada permukaan rotor berulang kali “terhapus” sebab” tidak terdapat luas permukaan yang mencukupi untuk menghentikan pesawat sehingga menyebabkan panas yang berlebihan dan merusak lining,namun jika Kermit menolak ambil bagian dalam penipuan A7D,Kermit harus mundur atau dipecat.
Ciri-ciri yang membedakan standar yang moral dan yang bukan moral yaitu standar moral berkaitan dengan persoalan yang kita anggap akan merugikan secara serius,standar moral ditetapkan atau di ubah oleh keputusan dewan otoriatif tertentu,harus lebih di utamakan daripada nilai termasuk kepentingan diri,terus standar moral berdasarkan pada pertimbangan yang tidak memihak dan diasosiasikan dengan emosi tertentu dan kosa kata tertentu.
Namun,apakah standar moral diterapkan pada korporasi atau hanya pada individu? Organisasi korporasi memunculkan problem-problem besar bagi siapa pun yang berusaha menerapkan standar moral pada aktuivitas bisnis,sebagai contoh,kita dapat melihat kasus,dimana sebuah pengadilan AS menuduh E.F Hutton Corporation melakukan penipuan yang sempurna di mana karyawan menulis perhitungan yang melebihi catatan bank,Kritikus kemudian mengklaim bahwa seharusnya pengadilan menuduh manajer E.F Hutton per individu,bukan korporasi,karena korporasi tidak melakukan kejahatan,melainkan oranglah yang melakukan kejahatan.
Berbicara mengenai perusahaan multinasional dan etika bisnis,sebagian besar korporasi masa kini merupakan perusahaan multi—nasional ,dengan kehadirannya di seluruh dunia,korporasi multinasional cenderung menjadi sangat besar : mengambil modal,bahan mentah dan kerja dari manapun di dunia yang mura,ahli dan mencukupi; dan menggabungkan serta memasarkan produk mereka di Negara mana pun yang menawarkan keuntungan usaha dan pasar terbuka.
Tapi apakah standar moral yang sama diterapkan untuk perusahaan multinasional disemua tempat ? perusahaan atau pebisnis yang beroperasi di berbagai Negara yang berbeda dan yang menemui masyarakat dengan beragam standar moral diberi nasihat oleh teori relativisme etis: dalam penalaran moral seseorang,dia harus selalu mengikuti standar moral yang berlaku dalam masyarakat mana pun dimana dia berada,dengan demikian,karena standar moral berbeda dank arena tidak ada criteria lain tentang benar dan salah,yang terbaik yang dapat dilakukan adalah mengikuti pepatah kuno:”ketika berada di Roma,lakukanlah seperti yang dilakukan orang Roma”.
Technology dan etika bisnis terdiri atas metode,proses,dan alat yang ditemukan manusia untuk memanipulasi lingkungan mereka,bukan pertama kalinya bahwa teknologi baru mempunyai dampak revolusioner terhadap bisnis dan masyarakat ,beberapa tahun yang lalu,selama masa yang disebut Revolusi Agrikultur,manusia mengembangkan teknologi pertanian yang memungkinkan mereka berhenti mengandalkan perburuan dan keuntungan berburu.
Ada beberapa tahap dan level yang dikaitkan teori Kohlberg yang membantu kita memahami bagaimana kapasitas moral kita berkembang dan memperlihatkan bagaimana kita menjadi lebih berpengalaman dan kritis dalam menggunakan dan memahami standar moral yang kita punya,namun teori Kohlberg mendapat berbagai kritik,yang pertama dikritik karena mengklaim bahwa tahap-tahap yang lebih tinggi secara moral lebih di utamakan daripada tahap-tahap yang lebih rendah,dan masih banyak kritikan lainnya.
Penalaran moral mengacu pada proses penalaran dimana perilaku,institusi atau kebijakan dinilai sesuia atau melanggar standar moral,penalaran moral selalu melibatkan dua komponen mendasar (a) pemahaman tentang yang dituntut,dilarang ,dinilai atau disalahkan oleh standar moral yang masuk akal,dan (b) bukti atau informasi yang menunjukkan bahwa orang,kebijakan,institusi,atau perilaku tertentu mempunyai ciri-ciri standar moral yang menuntut,melarang,menilai atau menyalahkan.

ETIKA BISNIS BAB II
Ulitaliarisme merupakan keuntungan social dan menimbang biaya dimana kita dapat melihat sebuah kasus manajer Caltex membuat keputusan moral dan pendekatan, dimana pendekatan merupakan pertimbangan dasar dalam membuat sebuah keputusan bisnis yang memiliki pengaruh dramatis pada kehidupan banyak orang, sebagai contoh perusahaan Caltex memproduksi sebuah mobil pinto, dimana model desain pinto mengharuskan pemasangan tangki bensin dibelakang garden. Saat model pinto di uji mengalami tabrakan, ditemukan bahwa saat ditabrak dari belakang dengan kecepatan 20 mil atau lebih,tangki bahan bakar mengalami pecah dan bensinnya masuk keruang penumpang, sehingga dalam tabrakan sesungguhnya akan muncul percikan api dan kemudian akan membakar penumpang yang terjebak didalamnya, manajer Caltex akhirnya menambah karet di sekeliling tangki untuk melindungi tangki,namun biaya penambahan karet dibebankan pada konsumen,
Secara singkat,prinsip utilitarian menyatakan bahwa : “ suatu tindakan dianggap benar dari sudut pandang etis jika dan hanya jika jumlah total utilitas yang dihasilkan dari tindakan tersebut lebih besar dari jumlah utilitas yang dihasilkan oleh tindakan lain yang dapat dilakukan”.
Satu rangkaian masalah dalam kaitan dengan utilitarianisme terfokus pada hambatan-hambatan yang dihadapi saat menilai atau mengukur utilitas,jumlah biaya dan keuntungan tertentu tampak sangat sulit dinilai,banyak keuntungan dan biaya dari suatu tindakan tidak dapat diprediksi dengan baik,sampai saat ini masih belum jelas apa yang bisa dihitung sebagai keuntungan dan apa yang bisa dihitung sebagai biaya, para pendukung utilitarianisme memberikan sejumlah tanggapan untuk menghadapi keberatan-keberatan yang muncul,kaum utilitarian menyatakan bahwa, meskipun ulititarianisme idealnya mensyaratkan penilaian-penilaian yang akurat dan dapat dikuantifikasikan atas biaya dan keuntungan,kaum utilitarian juga menunjukkan pada sejumlah criteria akal sehat yang dapat digunakan untuk menentukan nilai relative yang perlu diberikan pada berbagai kategori barang.
Tanggapan utilitarian terhadap hak dan keadilan yaitu adanya tindakan tertentu yang secara moral dibenarkan meskipun pada kenyataannya tidak adil dan melanggar hak-hak orang lain.
Setiap individu memiliki hak dan kewajiban,seperti yang dilakukan perusahaan Microsoft yang menguasai tujuh puluh ribu saham,sehingga perusahaan tersebut memiliki hak atas perusahaan,namun amerika serikat menyatakan hal tersebut pelanggaran atau adanya tingkat penekanan terhadap pihak lain.
Secara umum hak adalah klaim atau kepemilikan individu atau sesuatu,seseorang dikatakan memilki hak jika dia memiliki klaim untuk melakukan tindakan dalam suatu cara tertentu atau jika orang lain berkewajiban melakukan tindakan dalam suatu cara tertentu kepadanya.
Hak dan kewajiban kontraktual adalah hak terbatas dan kewajiaban korelatif yang muncul saat seseorang membuat perjanjian dengan orang lain, “contohnya,jika saya setuju untuk melakukan sesuatu bagi anda, maka anda berhak atas apa yang saya lakukan”.
Egalitarian yaitu menyakini bahwa tidak ada perbedaan yang relevan diantara semua orang bisa dipakai sebagai pembenaran atas perlakuan yang tidak adil,menurut pandangan egalitarian dapat dirumuskan sebagai berikut : “semua orang harus memperoleh bagian keuntungan dan beban masyarakat atau kelompok dalam jumlah yang sama”.
Etika memberi perhatian yang dilakukan seorang manajer perusahaan tekstil terhdap karyawannya pada saat perusahaan tersebut kehilangan asset tetapi perusahaan tetap membayar gaji karyawan,hal ini merupakan benar menurut moral,tetapi salah menurut utilitas
Memadukan utilitas,hak,keadilan dan perhatian meruapakan penilaian moral kita sebagian yang didasarkan pada standar-standar yang menunjukkan bagaimana individu harus diperlakukan atau dihargai,jenis standar moral ini wajib kita gunakan bila tindakan dan kebijakan yang akan kita ambil sangat berpengaruh pada kesejahteraan dan kebebasan.
Moralitas dalam konteks internasional dijalankan di Negara-negara yang peraturan hokum,adat kebiasaan,tingkat perkembangan,dan pemahaman budayanya kadang sangat berbeda dengan Negara asal ,perbedaan ini,menurut kami bukan merupakan pembenaran yang memadai bagi teori relativisme etis.

Jumat, 21 November 2008

OPINI MENGENAI PUNGLI DI DINAS PENDIDIKAN ACEH

Pungli yang terjadi di Dinas Pendidikan Aceh beberapa hari yang lalu yang melibatkan oknum instansi (PPTK) tersebut dengan kontraktor pemenang tender merupakan indikasi bahwa masih ada petugas pemerintah yang baru melayani setelah diberikan sesuatu dan perbuatan tersebut sangat memalukan,seharus nya instansi pemerintah tersebut mampu menjalankan pekerjaan nya dengan baik,apa dengan gaji yang telah di berikan oleh pemerintah tidak cukup,sehingga melakukan pungli.

Menurut pengakuan rekanan pemenang tender mengatakan “jika mereka tidak memberikan upeti atau pungli kepada oknum panitia tender,maka SPK dan kontrak kerja sangat lambat dikeluarkan PPTK”,tapi jika diberi uang pada hari itu juga SPK dan kontrak kerja proyek bias langsung ditandatangani dan diambil.

Namun instansi tersebut melalui sekretaris Dinas Pendidikan aceh,Rajab Marwan,membantah tuduhan itu,tidak ada pungli dalam proses penerbitan SPK dan kontrak kerja proyek,rajab juga mengatakan kalau pun ada yang memberikan uang,itu merupakan uang terima kasih yang diberikan rekanan dengan iklas atas pelayanan cepat yang telah diberikan PPTK,selaen itu uang yang dimaksudkan untuk mengganti uang foto copy.

Sampai diterbitkan berita ini pada tanggal jumat 14 November 2008,pak gubernur angkat bicara,beliau mengatakan akan menindak lanjuti dugaan pungli di lingkungan Dinas Pendidikan,namun saya sependapat dengan pak gubernur,semua itu masih bersifat dugaan,sehingga perlu dilakukan penyelidikan yang mendalam.

Kita harus menjunjung tinggi asas praduga tidak bersalah,siapa tahu itu benar biaya foto copy dan selebihnya di berikan Cuma-cuma,toh uang yang didapatkan pemenang tender setelah menyelesaikan proyek lebih besar,tapi apabila setelah di selidiki ternyata pungli tersebut benar ada nya maka harus ditindak sesuai hukum yang berlaku.

Kesimpulan dari opini saya adalah bahwa pungli yang terjadi di Dinas Pendidikan melanggar etika dan moral,sehingga kegiataan macam tersebut tidak patut di contoh.

Solusi semua itu kembali kepada kita masing-masing,karena hanya kita sendiri yang dapat merubah itu semua,kita harus menyadari bahwa kegiatan tersebut dapat merugikan kepentingan orang lain.

Rabu, 19 November 2008

SISTEM EKONOMI INDONESIA

Dalam perkembangan globalisasi seperti kita saksikan saat ini ternyata tidak makin mudah menyajikan pemahaman tentang adanya sistem ekonomi Indonesia. Kaum akademisi Indonesia terkesan makin mengagumi globalisasi yang membawa perangai “kemenangan” sistem kapitalisme Barat. Sikap kaum akademisi semacam ini ternyata membawa pengaruh besar terhadap sikap kaum elit politik muda Indonesia, yang mudah menjadi ambivalen terhadap sistem ekonomi Indonesia dan ideologi kerakyatan yang melandasinya.

Pemahaman akan sistem ekonomi Indonesia bahkan mengalami suatu pendangkalan tatkala sistem komunisme Uni Soviet dan Eropa Timur dinyatakan runtuh. Kemudian dari situ ditarik kesimpulan kelewat sederhana bahwa sistem kapitalisme telah memenangkan secara total persaingannya dengan sistem komunisme. Dengan demikian, dari persepsi simplisistik semacam ini, Indonesia pun dianggap perlu berkiblat kepada kapitalisme Barat dengan sistem pasar-bebasnya dan meninggalkan saja sistem ekonomi Indonesia yang “sosialistik” itu.

Kesimpulan yang misleading tentang menangnya sistem kapitalisme dalam percaturan dunia ini ternyata secara populer telah pula “mengglobal”. Sementara pemikir strukturalis masih memberikan peluang terhadap pemikiran obyektif yang lebih mendalam, dengan membedakan antara runtuhnya negara-negara komunis itu secara politis dengan lemahnya (atau kelirunya) sistem sosialisme dalam prakteknya.

Pandangan para pemikir strukturalis seperti di atas kurang lebihnya diawali oleh fenomena konvergensi antara dua sistem raksasa itu (kapitalisme dan komunisme) a.l. seperti dkemukakan oleh Raymond Aron (1967), bahwa suatu ketika nanti anak-cucu Krushchev akan menjadi “kapitalis” dan anak-cucu Kennedy akan menjadi “sosialis”.

Mungkin yang lebih benar adalah bahwa tidak ada yang kalah antara kedua sistem itu. Bukankah tidak ada lagi kapitalisme asli yang sepenuhnya liberalistik dan individualistik dan tidak ada lagi sosialisme asli yang dogmatik dan komunalistik.

Dengan demikian hendaknya kita tidak terpaku pada fenomena global tentang kapitalisme vs komunisme seperti dikemukakan di atas. Kita harus mampu mengemukakan dan melaksanakan sistem ekonomi Indonesia sesuai dengan cita-cita kemerdekaan Indonesia, yaitu untuk mencapai kesejahteraan sosial dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, tanpa mengabaikan hak dan tanggung jawab global kita.

Globalisasi dengan “pasar bebas”nya memang berperangai kapitalisme dalam ujud barunya. Makalah ini tidak dimaksudkan untuk secara khusus mengemukakan tentang hal-hal mengapa globalisasi perlu kita waspadai namun perlu dicatat bahwa globalisasi terbukti telah menumbuhkan inequality yang makin parah, melahirkan “the winner-take-all society” (adigang, adigung, aji mumpung), disempowerment dan impoversishment terhadap si lemah. Tentu tergantung kita, bagaimana memerankan diri sebagai subyek (bukan obyek) dalam ikut membentuk ujud globalisasi. Kepentingan nasional harus tetap kita utamakan tanpa mengabaikan tanggungjawab global. Yang kita tuju adalah pembangunan Indonesia, bukan sekedar pembangunan di Indonesia.


LANDASAN SISTEM EKONOMI INDONESIA

Secara normatif landasan idiil sistem ekonomi Indonesia adalah Pancasila dan UUD 1945.

Dengan demikian maka sistem ekonomi Indonesia adalah sistem ekonomi yang berorientasi kepada Ketuhanan Yang Maha Esa (berlakunya etik dan moral agama, bukan materialisme); Kemanusiaan yang adil dan beradab (tidak mengenal pemerasan atau eksploitasi); Persatuan Indonesia (berlakunya kebersamaan, asas kekeluargaan, sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi dalam ekonomi); Kerakyatan (mengutamakan kehidupan ekonomi rakyuat dan hajat hidup orang banyak); serta Keadilan Sosial (persamaan/emansipasi, kemakmuran masyarakat yang utama – bukan kemakmuran orang-seorang).

Dari butir-butir di atas, keadilan menjadi sangat utama di dalam sistem ekonomi Indonesia. Keadilan merupakan titik-tolak, proses dan tujuan sekaligus.

Pasal 33 UUD 1945 adalah pasal utama bertumpunya sistem ekonomi Indonesia yang berdasar Pancasila, dengan kelengkapannya, yaitu Pasal-pasal 18, 23, 27 (ayat 2) dan 34.

Berdasarkan TAP MPRS XXIII/1966, ditetapkanlah butir-butir Demokrasi Ekonomi (kemudian menjadi ketentuan dalam GBHN 1973, 1978, 1983, 1988), yang meliputi penegasan berlakunya Pasal-Pasal 33, 34, 27 (ayat 2), 23 dan butir-butir yang berasal dari Pasal-Pasal UUDS tentang hak milik yuang berfungsi sosial dan kebebasan memilih jenis pekerjaan. Dalam GBHN 1993 butir-butir Demokrasi Ekonomi ditambah dengan unsur Pasal 18 UUD 1945. Dalam GBHN 1998 dan GBHN 1999, butir-butir Demokrasi Ekonomi tidak disebut lagi dan diperkirakan “dikembalikan” ke dalam Pasal-Pasal asli UUD 1945.

Landasan normatif-imperatif ini mengandung tuntunan etik dan moral luhur, yang menempatkan rakyat pada posisi mulianya, rakyat sebagai pemegang kedaulatan, rakyat sebagai ummat yang dimuliakan Tuhan, yang hidup dalam persaudaraan satu sama lain, saling tolong-menolong dan bergotong-royong.


WILOPO –VS- WIDJOJO

Pancasila hampir-hampir tidak terdengar lagi. Seolah-olah orang Indonesia merasa tidak perlu Pancasila lagi sebagai ideologi negara. Tanpa suatu ideologi negara yang solid, suatu bangsa tidak akan memiliki pegangan, akan terombang-ambing tanpa platform nasional yang akan memecah-belah persatuan. Pancasila merupakan “asas bersama” (bukan “asal tunggal”) bagi pluralisme Indonesia, suatu common denominator yang membentuk kebersamaan.

Sistem Eknomi Pancasila pun hampir-hampir hilang dalam pemikiran ekonomi Indonesia. Bahkan demikian pula Pasal 33 UUD 1945 sebagai landasan ideologinya akan dihilangkan. Apa yang sebenarnya terjadi?

Perdebatan mengenai Pasal 33 UUD 1945 (terutama Ayat 1-nya) sudah dimulai sejak awal. Yang paling pertama dan monumental adalah perdebatan pada tanggal 23 September 1955 antara Mr. Wilopo, seorang negarawan, dengan Widjojo Nitisastro, mahasiswa tingkat akhir FEUI.

Di dalam perdebatan itu kita bisa memperoleh kesan adanya bibit-bibit untuk ragu meminggirkan liberalisme sebagai peninggalan kolonial serta menolak koperasi sebagai wadah kekuatan rakyat dalam keekonomian nasional, betapapun hanya tersirat secara implisit, dengan memadukan tujuan untuk mencapai “peningkatan pendapatan perkapita” dan sekaligus “pembagian pendapatan yang merata”, sebagaimana (tersurat) dikemukakan oleh Widjojo Nitisastro.

Di awal penyajiannya dalam debat itu, Widjojo Nitisastro menyatakan adanya ketidaktegasan akan Ayat 1 Pasal 33 UUD 1945, kemudian mempertanyakannya, apakah ketidaktegasan ini disebabkan oleh “kontradiksi inheren” yang dikandungnya (karena masih mengakui adanya perusahaan swasta yang mengemban semangat liberalisme, di samping perusahaan negara dan koperasi), ataukah karena akibat tafsiran yang kurang tepat. Pertanyaan Widjojo Nitisastro semacam itu sebenarnya tidak perlu ada apabila beliau menyadari makna Ayat II Aturan Peralihan UUD 1945 dan mengkajinya secara mendalam.

Di samping itu, menurut pendapat saya, Widjojo Nitisastro alpa memperhatikan judul Bab XIV UUD 1945 di mana Pasal 33 (dan Pasal 34) bernaung di dalamnya, yaitu “Kesejahteraan Sosial”, sehingga beliau terdorong untuk lebih tertarik terhadap masalah bentuk-bentuk badan usaha (koperasi, perusahaan negara dan swasta) daripada terhadap masalah ideologi kerakyatan yang dikandung di dalam makna “Kesejahteraan Sosial” itu. Akibatnya beliau alpa pula bahwa yang paling utama berkaitan dengan kesejahteraan sosial adalah “cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak” (ayat 2 Pasal 33 UUD), di luar cabang-cabang produksi itu (ditegaskan Bung Hatta) swasta masih memperoleh tempat.

Terlepas dari itu Widjojo Nitisastro pada tahun 1955 itu telah menekankan pentingnya negara memainkan peran aktif dalam pengendalian dan melaksanakan pembangunan ekonomi (alangkah baiknya apabila kaum Widjojonomics saat ini mengikuti pandangan Widjojo yang dikemukakannya ini, yang saya anggap bagian ini tepat sekali).

Sementara Mr. Wilopo menangkap ide kerakyatan dan demokrasi ekonomi (istilahnya: mengikuti jalan demokratis untuk memperbaiki nasib rakyat). Beliau mendukung agar negeri ini tidak berdasarkan konsep liberalisme ekonomi sebagai bagian dari pelaksanaan Asas-Asas Dasar (platforms) yang dianut oleh konstitusi kita (UUDS, pen.). Beliau mengatakan lebih lanjut bahwa “sejak semula sudah diakui bahwa ketentuan-ketentuan Pasal 33 UUD 1945 yang muncul dalam UUDS sebagai Pasal 38, memang sangat penting, karena dimaksudkan untuk mengganti asas ekonomi masa lalu (asas ekonomi kolonial, pen.) dengan suatu asas baru (asas ekonomi nasional, yaitu asas kekeluargaan, pen.).

Dalam berbagai artikel saya telah menindaklanjuti pemikiran Mr. Wilopo ini dengan mengemukakan bahwa Ayat II Aturan Peralihan UUD 1945 merupakan sumber hukum yang perlu kita perhatikan. Ayat II Aturan Peralihan UUD 1945 menetapkan: “segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini”. Artinya Pasal 33 UUD 1945 yang menegaskan “asas kekeluargaan” berlaku bagi Indonesia sejak ditetapkan berlakunya UUD 1945, namun tetap masih berlaku pula peraturan perundangan kolonial, tak terkecuali KUHD (Wetboek van Koophandel) yang berasas perorangan (liberalisme). Pasal 33 UUD 1945 berlaku secara permanen, sedang KUHD sebagai akibat Aturan Peralihan UUD 1945 berlaku secara temporer (transisional). Mereka yang mau memahami pula kedudukan Pasal 33 UUD 1945 dan asas kekeluargaan hendaknya memahami kedudukan peraturan perundangan mengenai keekonomian dalam konteks Aturan Peralihan ini. Artinya, KUHD yang berasas perorangan yang harus di-Pasal 33-kan, bukan Pasal 33 yang harus di-KUHD-kan.


SIAPA YANG DISEBUT RAKYAT?

Dari landasan sistem ekonomi Indonesia sebagaimana dikemukakan di atas (Pancasila, UUD 1945, TAP MPRS No. XXIII/66 dan GBHN-GBHN 1973, 1978, 1983, 1988, 1998, 1999), jelas bahwa ekonomi Indonesia berpedoman pada ideologi kerakyatan. Apa itu kerakyatan dan siapa itu rakyat?

Banyak orang mengatasnamakan rakyat. Ada yang melakukannya secara benar demi kepentingan rakyat semata, tetapi ada pula yang melakukannya demi kepentingan pribadi atau kelompok. Yang terakhir ini tentulah merupakan tindakan yang tidak terpuji. Namun yang lebih berbahaya dari itu adalah bahwa banyak di antara mereka, baik yang menuding ataupun yang dituding dalam mengatasnamaan rakyat, adalah bahwa mereka kurang sepenuhnya memahami arti dan makna rakyat serta dimensi yang melingkupinya.

Sekali lagi, siapa yang disebut “rakyat”? Pertanyaan semacam ini banyak dikemukakan secara sinis oleh sekelompok pencemoh yang biasanya melanjutkan bertanya, “bukankah seorang konglomerat juga rakyat, bukankah Liem Sioe Liong juga rakyat?” Tentu! Namun yang jelas perekonomian konglomerat bukanlah perekonomian rakyat.

“Rakyat” adalah konsepsi politik, bukan konsepsi aritmatik atau statistik, rakyat tidak harus berarti seluruh penduduk. Rakyat adalah “the common people”, rakyat adalah “orang banyak”. Pengertian rakyat berkaitan dengan “kepentingan publik”, yang berbeda dengan “kepentingan orang-seorang”. Pengertian rakyat mempunyai kaitan dengan kepentingan kolektif atau kepentingan bersama. Ada yang disebut “public interest” atau “public wants”, yang berbeda dengan “private interest” dan “private wants”. Sudah lama pula orang mempertentangkan antara “individual privacy” dan “public needs” (yang berdimensi domain publik). Ini analog dengan pengertian bahwa “social preference” berbeda dengan hasil penjumlahan atau gabungan dari “individual preferences”. Istilah “rakyat” memiliki relevansi dengan hal-hal yang bersifat “publik” itu.

Mereka yang tidak mampu mengerti “paham kebersamaan” (mutuality) dan “asas kekeluargaan” (brotherhood atau broederschap) pada dasarnya karena mereka tidak mampu memahami arti dan makna luhur dari istilah “rakyat” itu, tidak mampu memahami kemuliaan adagium “vox populi vox Dei”, di mana rakyat lebih dekat dengan arti “masyarakat” atau “ummat”, bukan dalam arti “penduduk” yang 210 juta. Rakyat atau “the people” adalah jamak (plural), tidak tunggal (singular).

Seperti dikemukakan di atas, kerakyatan dalam sistem ekonomi mengetengahkan pentingnya pengutamaan kepentingan rakyat dan hajat hidup orang banyak, yang bersumber pada kedaulatan rakyat atau demokrasi. Oleh karena itu, dalam sistem ekonomi berlaku demokrasi ekonomi yang tidak menghendaki “otokrasi ekonomi”, sebagaimana pula demokrasi politik menolak “otokrasi politik”.

Dari sini perlu kita mengingatkan agar tidak mudah menggunakan istilah “privatisasi” dalam menjuali BUMN. Yang kita tuju bukanlah “privatisasi” tetapi adalah “go-public”, di mana pemilikan BUMN meliputi masyarakat luas yang lebih menjamin arti “usaha bersama” berdasar atas “asas kekeluargaan”.


PASAL 33 UUD 1945 PERLU DIPERTAHANKAN

Pasal 33 UUD 1945 harus dipertahankan. Pasal 33 UUD 1945 adalah pasal mengenai keekonomian yang berada pada Bab XIV UUD 1945 yang berjudul “Kesejahteraan Sosial”. Kesejahteraan sosial adalah bagian tak terpisahkan dari cita-cita kemerdekaan. Dengan menempatkan Pasal 33 1945 di bawah judul Bab “Kesejahteraan Sosial” itu, berarti pembangunan ekonomi nasional haruslah bermuara pada peningkatan kesejahteraan sosial. Peningkatan kesejahteraan sosial merupakan test untuk keberhasilan pembangunan, bukan semata-mata per-tumbuhan ekonomi apalagi kemegahan pembangunan fisikal. Pasal 33 UUD 1945 adalah pasal yang mulia, pasal yang mengutamakan kepentingan bersama masyarakat, tanpa mengabaikan kepentingan individu orang-perorang. Pasal 33 UUD 1945 adalah pasal restrukturisasi ekonomi, pasal untuk mengatasi ketimpangan struktural ekonomi.

Saat ini Pasal 33 UUD 1945 (ide Bung Hatta yang dibela oleh Bung Karno karena memangku ide “sosio-nasionalisme” dan ide “sosio-demokrasi”) berada dalam bahaya. Pasal 33 UUD 1945 tidak saja akan diamandemen, tetapi substansi dan dasar kemuliaan ideologi kebangsaan dan kerakyatan yang dikandungnya akan diubah, artinya akan digusur, oleh sekelompok pemikir dan elit politik yang kemungkinan besar tidak mengenal platform nasional Indonesia.

Ayat 1 Pasal 33 UUD 1945 menegaskan, bahwa “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan”. Perkataan disusun artinya “direstruktur”. Seorang strukturalis pasti mengerti arti “disusun” dalam konteks restrukturisasi ekonomi, merubah ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional, menghilangkan subordinasi ekonomi (yang tidak emancipatory) dan menggantinya dengan demokrasi ekonomi (yang participatory dan emancipatory).

Mari kita baca Penjelasan Pasal 33 UUD 1945 “… Perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi semua orang. Sebab itu cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajad hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Kalau tidak tampuk produksi jatuh ke tangan orang-orang yang berkuasa dan rakyat banyak ditindasinya …”. Bukankah sudah diprediksi oleh UUD 1945 bahwa orang-orang yang berkuasa akan menyalahgunakan kekuasaan, akan habis-habisan ber-KKN karena melalaikan asas kekeluargaan. Bukankah terjadinya ketidakadilan sosial-ekonomi mass poverty, impoverishmen dan disempowerment terhadap rakyat karena tidak hidupnya asas kekeluargaan atau brotherhood di antara kita? Dalam kebersamaan dan asas kekeluargaan, keadilan sosial-ekonomi implisit di dalamnya.

Dari Penjelasan UUD 1945 juga kita temui kalimat “… Meskipun dibikin UUD yang menurut kata-katanya bersifat kekeluargaan, apabila semangat penyelenggara negara, para pemimpin pemerintahan itu bersifat perorangan, UUD itu tentu tidak ada artinya dalam praktek …”. Ini kiranya jelas, self-explanatory.

Pasal 33 UUD 1945 akan digusur dari konstitusi kita. Apa salahnya, apa kelemahannya? Apabila Pasal 33 UUD 1945 dianggap mengandung kekurangan mengapa tidak disempurnakan saja dengan ayat-ayat tambahan, dengan tetap mempertahankan 3 ayat aslinya.

Pasal 33 UUD 1945 sebenarnya makin relevan dengan tuntutan global untuk menumbuhkan global solidarity dan global mutuality. Makin berkembangnya aliran sosial-demokrasi (Anthony Giddens, Tony Blair, dll) makin meningkatkan relevansi Pasal 33 UUD 1945 saat ini. Saat ini 13 dari 15 negara Eropa Barat menganut paham sosial-demokrasi (Dawam Rahardjo, 2000).

Memang tidak akan mudah bagi mereka untuk memahami Pasal 33 UUD 1945 tanpa memiliki platform nasional, tanpa memiliki ideologi kerakyatan, ataupun tanpa memahami cita-cita sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi yang saat ini tetap relevan. Mereka (sebagian ekonom junior) kiranya tidak suka mencoba memahami makna “perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan” (ayat 1 Pasal 33). “Kebersamaan” adalah suatu “mutuality” dan “asas kekeluargaan” adalah “brotherhood” atau “broederschap” (bukan kinship atau kekerabatan), bahasa agamanya adalah ukhuwah, yang mengemban semangat kekolektivan dan solidaritas sosial. M. Umer Chapra (2001) bahkan menegaskan bahwa memperkukuh brotherhood merupakan salah satu tujuan dalam pembangunan ekionomi,. Brotherhood menjadi sinergi kekuatan ekonomi utnuk saling bekerjasama, tolong-menolong dan bergotong-royong.

Pura-pura tidak memahami makna mulia “asas kekeluargaan” terkesan untuk sekedar menunjukkan kepongahan akademis belaka. “Asas kekeluargaan” adalah istilah Indonesia yang sengaja diciptakan untuk memberi arti brotherhood, seperti halnya persatuan Indonesia” adalah istilah Indonesia untuk nasionalisme, dan “kerakyatan” adalah istilah Indonesia untuk demokrasi.(Mubyarto, 2001).

Memang yang bisa memahami asas kekeluargaan adalah mereka yang bisa memahami cita-cita perjuangan dalam konteks budaya Indonesia, yang mampu merasakan sesamanya sebagai “saudara”, “sederek”, “sedulur”, “sawargi”, “kisanak”, “sanak”, “sameton” dan seterusnya, sebagaimana Al Islam menanggap sesama ummat (bahkan manusia) sebagai “saudara”, dalam konteks rahmatan lil alamin.

Jadi asas kekeluargaan yang brotherhood ini bukanlah asas keluarga atau asas kekerabatan (bukan family system atau kinship) yang nepotistik. Kebersamaan dan kekeluargaan adalah asas ekonomi kolektif (cooperativism) yang dianut Indonesia Merdeka, sebagai lawan dari asas individualisme yang menjadi dasar sistem ekonomi kolonial yang dipelihara oleh Wetboek van Koophandel (KUHD). Itulah sebabnya UUD 1945 memiliki Aturan Peralihan, yang Ayat II-nya menegaskan bahwa sistem hukum kolonial berdasar KUH Perdata, KUH Pidana, KUHD, dll tetap berlaku secara temporer, yang berkedudukan sebagai “sementara sebelum diadakan yang baru menurut UUD 1945”, artinya dalam posisi “peralihan”. Jadi yang tidak tahu, lalu ingin menghapuskan ketiga ayat Pasal 33 UUD 1945 itu adalah mereka yang mungkin sekali ingin merubah cita-cita dasar Indonesia Merdeka.

Mengulang yang disinggung di atas, “usaha bersama” dan “asas kekeluargaan” adalah satu kesatuan, tidak bisa dipisahkan satu sama lain, merupakan satu paket sistem ekonomi untuk merubah ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional, di mana “partisipasi” dalam kehidupan ekonomi harus pula disertai dengan “emansipasi”. Kebersamaan menjadi dasar bagi partisipasi dan asas kekeluargaan menjadi dasar bagi emansipasi. Tidak akan ada partisipasi genuine tanpa adanya emansipasi.

Pasal 33 UUD 1945 tidak punya andil apapun dan keterpurukan ekonomi saat ini, suatu keterpurukan terberat dalam sejarah Republik ini. Bukan Pasal 33 UUD 1945 yang mengakibatkan kita terjerumus ke dalam jebakan utang (debt-trap) yang seganas ini. Pasal 33 UUD 1945 tidak salah apa-apa, tidak ikut memperlemah posisi ekonomi Indonesia sehingga kita terhempas oleh krisis moneter. Pasal 33 UUD 1945 tidak ikut salah apa-apa dalam menghadirkan krisis ekonomi yang berkepanjangan. Bukan Pasal 33 UUD 1945 yang menjebol Bank Indonesia dan melakukan perampokan BLBI. Bukan pula Pasal 33 yang membuat perekonomian diampu dan di bawah kuratil negara tetangga (L/C Indonesia dijamin Singapore). Bukan Pasal 33 yang menghadirkan kesenjangan ekonomi (yang kemudian membentuk kesenjangan sosial yang tajam dan mendorong disintegrasi sosial ataupun nasional), meminggirkan rakyat dan ekonominya. Bukan pula Pasal 33 yang membuat distribusi pendapatan Indonesia timpang dan membiarkan terjadinya trickle-up mechanism yang eksploitatif terhadap rakyat, yang menumbuhkan pelumpuhan (disempowerment) dan pemiskinan rakyat (impoverishment). Lalu, mengapa kita mengkambinghitamkan Pasal 33 UUD 1945 dan justru mengagung-agungkan globalisasi dan pasar-bebas yang penuh jebakan bagi kita? Pasal 33 tidak menghambat, apalagi melarang kita maju dan mengambil peran global dalam membentuk tata baru ekonomi mondial.

Tiga butir Ayat Pasal 33 UUD 1945 tidak seharusnya dirubah, tetapi ditambah ayat-ayat baru, bukan saja karena tidak menjadi penghambat pembangunan ekonomi nasional tetapi juga karena tepat dan benar. Kami mengusulkan berikut ini sebagai upaya amandemen UUD 1945, yang lebih merupakan suatu upaya memberi “addendum”, menambah ayat-ayat, misalnya untuk mengakomodasi dimensi otonomi daerah dan globalisasi ekonomi, dengan tetap mempertahankan tiga ayat aslinya.


PENUTUP: SIAPA YANG BERDAULAT, PASAR, ATAU RAKYAT?

Kesalahan utama kita dewasa ini terletak pada sikap Indonesia yang kelewat mengagumi pasar-bebas. Kita telah “menobatkan” pasar-bebas sebagai “berdaulat”, mengganti dan menggeser kedaulatan rakyat. Kita telah menobatkan pasar sebagai “berhala” baru.

Kita boleh heran akan kekaguman ini, mengapa dikatakan Kabinet harus ramah terhadap pasar, mengapa kriteria menjadi menteri ekonomi harus orang yang bersahabat kepada pasar. Bahkan sekelompok ekonom tertentu mengharapkan Presiden Megawati pun harus ramah terhadap pasar. Mengapa kita harus keliru sejauh ini.

Mengapa tidak sebaliknya bahwa pasarlah yang harus bersahabat kepada rakyat, petani, nelayan, dst dst. 1)

1) Mengapa pasar di Jepang dapat diatur bersahabat dengan petani Jepang, sehingga beras di Jepang per kilo yang mencapai harga rupiah
sebesar Rp. 30.000,- para importir Jepang tidak mengimpor beras murah dari luar negeri. Mengapa pula kita harus “memperpurukkan” petani-petani
kita, justru ketika kita petani sedang panen padi, kita malah mengimpor beras murah dari luar negeri?

Siapakah sebenarnya pasar itu? Bukankah saat ini di Indonesia pasar adalah sekedar (1) kelompok penyandang/ penguasa dana (penerima titipan dana dari luar negeri/komprador, para pelaku KKN, termasuk para penyamun BLBI, dst); (2) para penguasa stok barang (termasuk penimbun dan pengijon); (3) para spekulan (baik di pasar umum dan pasar modal); dan (4) terakhir adalah rakyat awam yang tenaga-belinya lemah. Pada hakekatnya yang demikian itu ramah kepada pasar adalah ramah kepada ketiga kelompok pertama sebagai pelaku utama (baca: para penguasa pasar dan penentu pasar).

Oleh karena itu pasar harus tetap dapat terkontrol, terkendali, not to fully rely-on, 2) tetapi sebaliknya pasarlah, sebagai “alat” ekonomi, yang harus mengabdi kepada negara. Adalah kekeliruan besar menganggap pasar sebagai “omniscient” dan “omnipotent” sehingga mampu mengatasi ketimpangan struktural. Adalah naif menganggap “pasar bebas” adalah riil. Lebih riil sebagai kenyataan adalah embargo, proteksi terselubung, unfair competition, monopoli terselubung (copyrights, patents, intellectual property rights), tak terkecuali embargo dan economic sanctions sebagai kepentingan politik yang mendominasi dan mendistorsi pasar.

2) Lihat Sri-Edi Swasono “Pasar-Bebas yang Imajiner: Distorsi Politik dan Pertentangan Kepentingan Internasional”, Mimeo, Kantor Menko Ekuin, 21
Maret 1997.

Apabila pasar tidak dikontrol oleh negara, apabila asar kita biarkan bebas sehingga pasar-bebas kita jadikan “berhala” dan kita nobatkan sebagai berdaulat, maka berarti kita membiarkan pasar menggusur kedaulatan rakyat. Undang-Undang Dasar 1945 jelas menegaskan rakyatlah yang berdaulat, bukan pasar.

Demikian itulah, apabila kita ingin mempertahankan kedaulatan rakyat, maka Pasal 33 UUD 1945 hendaknya tidak dirubah, “usaha bersama” dan “asas kekeluargaan” adalah kata-kata dan makna mulia yang harus tetap dipertahankan. Menghilangkan “usaha bersama” dan “asas kekeluargaan” bisa diartikan sebagai mengabaikan nilai-nilai agama, mengabaikan moralitas ukhuwah di dalam berperikehidupan yang menjadi kewajiban agama.

“Kesejahteraan Sosial” sebagai jugul Bab XIV UUD 1945 pun tidak perlu dirubah atau diganti dengan memasukkan perkataan “Ekonomi”, sebab “ekonomi” adalah derivat atau alat untuk mencapai “kesejahteraan sosial” itu.